Bahasa Indonesia_KD 3.15_Teks Biografi

Jamaah Khilafatul Muslimin Kecewa Pemimpinnya Ditangkap8. Ceritakanlah kembali teks biografi di atas dengan bahasamu sendiri! E. Latihan Soal Bacalah dengan cermat teks biografi berikut, lalu (1) temukan informasi penting pada setiap paragraf, (2) ceritakan kembali dengan bahasamu sendiri! Biografi Septinus George Saa Siapa Septinus George Saa? Septinus George Saa adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Indonesia. Makalah ilmiahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resisto. Bahkan ia pun menemukan rumus Penghitung Hambatan antara Dua Titik Rangkaian Resistor yang kemudian diberi namanya sendiri yaitu “George Saa Formula”. Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini sangat mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenangkan First Step to Nobel Prize in Physic yang itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas.

Napoleon Abueva (1930 - 2018) - OblationIn secondary schools they will be taught by different subject specialists each session during the week and may have 10 or more different teachers. The relationship between children and their teachers tends to be closer in the primary school where they act as form tutor, specialist teacher and surrogate parent during the course of the day. This is true throughout most of the United States as well. However, alternative approaches for primary education do exist. One of these, sometimes referred to as a “platoon” system, involves placing a group of students together in one class that moves from one specialist to another for every subject. The advantage here is that students learn from teachers who specialize in one subject and who tend to be more knowledgeable in that one area than a teacher who teaches many subjects. Students still derive a strong sense of security by staying with the same group of peers for all classes.

Jenderal Soedirman juga dikenal aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler. Jiwa kepemimpinannya sudah mulai terlihat sejak ia bersekolah di sekolah menengah. Pada tahun 1937, beliau dipercaya sebagai seorang pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah dan sangat dihormati oleh masyarakat karena ilmu agama yang dimilikinya. Walaupun sibuk dengan kegiatannya dalam organisasi, Jenderal Soedirman juga tetap melakukan pekerjaannya yaitu mengajar. Pada tahun 1944, Jenderal Soedirman membuat keputusan untuk bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) dan kemudian dipercaya menjadi Komandan Batalyon Banyumas. Saat menjadi seorang komandan, beliau dengan rekan prajurit lainnya melancarkan sebuah pemberontakan. Akibat dari pemberontakan tersebut, Jenderal Soedirman diasingkan di Bogor. Walaupun begitu, beliau dengan pendiri proklamator lain tetap bersikukuh dan bertekad dalam berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman adalah sosok yang sangat berjasa pada Revolusi Nasional Indonesia. Akhirnya, ia diangkat sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1984. Nama Jenderal Soedirman mulai dikenal ketika Perang Gerilya 1 Maret 1949. Ia merupakan seorang komando dari beberapa kegiatan militer di Jawa. Beliau wafat pada di Magelang, 29 Januari 1950. Beliau meninggal pada usia 34 tahun.

What is transformative education, and is it important relates the paradigm shift on educational technology with transformative education in Indonesian socio-cultural context? In short, transformative education is an educational paradigm in which addressing educational practice not only to achieve personal performance, moreover it should transform and change the existent social reality which is often unjust, totalitarian, preserve discrimination, exploitation, negative stereotyped based on ethnicity, religion, race, and etc. Transformative education have several identical names i.e. Henry Giroux, 1983; Peter McLaren, 1995), critical education (further discussion see Manuel Castells et al., 1994), radical pedagogy (Mark Bracher, 2009), popular education (Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, Mansour Fakih, 2010), transformative pedagogy (H.A.R. Tilaar, 2002), oppositional pedagogy (Henry Giroux, 1983; Peter McLaren, 1995); education for liberation (see for example by Paulo Freire, 2005; Noah De Lissovoy, 2008), and etc. All of these names have the same or similar basic concepts on education i.e. Transformative education meets its importance in Indonesian socio-cultural and political context, because lots of problems cannot be solved based on conservative and liberal education paradigm/ideologies.